dramatisir: persimpangan

Pada titik itu kau memilih berhenti.
Aku tahu sejak bisu memberangus kata.
Dan sapa menjadi barang mewah di etalase.
Persimpangan yang ternyata maha bercabang menjadikan kita tak pernah sama menunjuk peta.
Sepertinya ini semua mengorbankan apa yang paling mahal.
Ikatan bernama pertemanan yang berkeping luluh lantak.
Entah siapa yang mengangkat palu.
Entah siapa yang melempar batu.
Tapi sejak dulu aku tahu semua akan begini.
Sejak dulu aku tahu hanya dengan membaca gerakmu.
Dengan membaca cuacamu.
Kamu tak pernah mengerti.
Dan aku yang tak pernah bisa mengerti.

melangkahlah,
Pergilah, ”kadang kita harus pergi dari kehidupan seseorang untuk bisa berhenti sakit hati.”
”kadang kita harus merelakan seseorang pergi, demi kebaikan bersama.”

Ah! Jangan terlalu mendramatisir!

180310

Kita (mungkin) terlalu sibuk!

Kau tahu?!
Kadang kita memang sibuk!
Terlalu dan benar-benar sibuk.
Atau kita hanya tidak memperhatikan.
Atau kita hanya tidak menyadari.
Atau kita hanya [me]lupa[kan].
Atau kita memang tidak peduli.

Hal-hal kecil yang kita remehkan.
Orang-orang yang kita abaikan.
Langit yang tak pernah kita suguhi terima kasih.
Rasa kemanusiaan yang tak lagi kita jenguk.
Senja yang berlalu begitu saja.
Persahabatan yang kita bunuh.
Ikatan yang tak sadar telah merenggang.
Otak yang semakin tumpul.
Hati yang tak lagi peka.
Cinta yang tak kita sadari keberadaannya.
Rintik hujan yang tak pernah kita ingat nadanya.
Bunga-bunga yang kita puja.
Ilalang yang terinjak.
Udara yang kita rasa.
Kenangan yang ingin kita lupakan.

Mungkin kita memang tidak memperhatikan.
Mungkin kita memang tidak menyadari.
Mungkin kita memang [me]lupa[kan].
Mungkin kita tidak peduli.

Kita terlalu sibuk!
Kita terlalu sibuk!
Kita terlalu sibuk!

Mungkin kita perlu berhenti dan berdiam. Merenungkan apa yang luput, apa yang hilang, apa yang hadir, apa yang datang, apa yang pergi, apa yang ada.

Kamar kos dengan bisik air kran dan nyanyian kipas angin mini, 190310

Aku memang salah menandaimu….

Tanda-tanda yang kupasang pada dinding bertahun sampai menahun ternyata salah.
Ternyata aku hanya memunguti bayang yang kukira malaikat tapi nyatanya hantu.
Pada ruang-ruang yang mereka namai maya kubacai sayapmu yang semakin berupa hitam.
Mengerikan sekali melihat kelam melahapmu dengan sempurna tapi kau masih lugas tertawa.
Kau tenggelam tanpa sadar.

Setua ini aku salah menandaimu.
Kau bukan dia yang selama ini ada dan bertumbuh di kepalaku.
Kau bukan dia yang selama ini kureka, kukira dan kucipta.

Dan sepotong kata kecewa bangkit.
Menyuarakan ketidaksukaan atas semesta yang mencetak tinta hitam di lidahmu. Atas sekitar yang menggandeng jiwamu untuk tersesat.
Kau berjelaga tapi masih tegas tertawa.

Lalu apa yang bisa kubuat?
Apa yang bisa kurubah?
Saat matamu menghunus belati.
Dan mengisyaratkan ‘siapa kau! Kau tak berhak.’
Dan kita semakin mengasing.

Memang salah aku menandai rupa dan jiwamu.

I,120310